Minggu, 02 Agustus 2009

Minimalisasi Prosedur Diskriminatif terhadap Mahasiswa Indonesia Luar Negeri


Keberhasilan Katarina Nugroho untuk sampai di ajang Final Jury Lomba Menulis Esai Internasional Bank Dunia 9 Juni kemarin memang patut dibanggakan. Karena terhitung sejak Bank Dunia pertama kali mengadakan kompetisi menulis tahunan ini, belum ada satu pun pemuda-pemudi Indonesia yang bisa berhasil sampai di ajang Final Jury. Apalagi jika mengingat jumlah peserta yang berpartisipasi di tahun ini membludak hampir 50% dari tahun sebelumnya.

Katarina termasuk delapan penulis terbaik dari 3827 penulis lainnya yang berkesempatan mempresentasikan esainya dan menghadiri ABCD Conference di Cape Town 9-11 Juni kemarin. Sesuai dengan tema urban yang ditetapkan oleh panitia, di esainya, Katarina bertutur panjang-lebar tentang bagaimana memecahkan permasalahan-permasalahan urban di Jakarta dengan mempersiapkan generasi lewat pendidikan dan social entrepreneurship.

Tapi lebih dari sekedar kebanggaan tersebut, ada satu hal yang sebenarnya perlu menjadi catatan penting bagi pemerintah kita dari keberhasilan ini: Bahwa Katarina Nugroho adalah salah satu bukti potensi mahasiswa Indonesia luar negeri; bahwa pemerintah kita perlu lebih memperhatikan eksistensi dan potensi mahasiswa Indonesia luar negeri; bahwa selama ini banyak prosedur diskriminatif yang menghambat partisipasi mahasiswa luar negeri dalam berbagai even nasional/internasional; bahwa keberhasilan Katarina ini tak lepas dari prosedur eligibility keikut-sertaan yang tidak diskriminatif.

Prosedur Diskriminatif

Selama ini, harus disadari bahwa ada semacam prosedur diskriminatif terhadap mahasiswa Indonesia luar negeri untuk keikut-sertaan dalam banyak even/peluang nasional maupun internasional. Baik dalam even/peluang internasional yang meniscayakan penjaringan via negara, atau juga dalam even/peluang yang digalang oleh internal negara sendiri.


Semisal dalam prosedur keikutsertaan Phillip C. Jessup International Law Moot Court Competition, sebuah kompetisi paling bergengsi bagi mahasiswa Hukum yang diadakan di di Washington D.C. Maret-April lalu. Dalam even ini, eksistensi dan potensi mahasiswa hukum luar negeri sama sekali tidak dijaring, atau bahkan mungkin tidak terpikirkan. Padahal, ada banyak mahasiswa hukum luar negeri yang mungkin kapabel untuk dijaring sebagai representasi Indonesia di ajang tersebut.

Atau juga dalam banyak even-even nasional, kerap sekali mahasiswa Indonesia luar negeri harus kehilangan kesempatan karena even tersebut mensyaratkan keharusan pesertanya untuk terdaftar di salah satu universitas di Indonesia, seperti dalam prosedur keikut-sertaan beberapa even lomba tingkat nasional atau juga dalam prosedur pendaftaran magang kerja di beberapa instansi nasional.

Atau lebih jauh lagi, di wilayah peluang-peluang yang difasilitasi oleh pihak Non-Governmental, semisal Lembaga Beasiswa Peace Scholarship yang kerap menawarkan program-program Season Course serupa Summer Course, Winter Course dan lain-lain. Lembaga ini juga menetapkan standar eligibility pendaftarnya, jika sang pendaftar resmi terdaftar sebagai mahasiswa di salah satu universitas di Indonesia . Lagi-lagi, peluang mahasiswa luar negeri semakin minim.

Hal-hal tersebut menjadi masalah karena secara institutif, mahasiswa Indonesia luar negeri telah kehilangan kesempatan penjaringan via universitas. Universitas-universitas tempat mahasiswa Indonesia luar negeri tersebut belajar tentu akan lebih memprioritaskan mahasiswa-mahasiswa pribuminya untuk dipilih sebagai representasi univesitas. Apalagi jika even tersebut adalah even kompetisi antar Negara serupa Phillip C. Jessup International Law Moot Court Competition tadi.

Membuka Peluang

Minimalisasi prosedur diskriminatif ini bisa dimulai dengan mempersewajahkan peluang mahasiswa-mahasiswa Indonesia baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Sudah saatnya membuka lebar-lebar kesempatan bagi mahasiswa luar negeri untuk berkiprah sejajar dengan mahasiswa dalam negeri.

Untuk membuka peluang tersebut, setiap elemen pemerintah memang dituntut untuk memulainya bersama-sama. Dan ini tentu tak sulit. Karena elemen-elemen pemerintah tersebut hanya cukup mencantumkan saja eligibility keikut-sertaan mahasiswa-mahasiwa luar negeri dalam setiap even atau peluang yang digelarmya.

Lalu terkait pemberian peluang bagi even internasional yang membutuhkan penjaringan via Negara, bisa dilaksanakan dengan mengadakan penjaringan via KBRI selaku instansi perwakilan RI di luar negeri, untuk kemudian dijaring kembali di tingkat nasional bersama dengan representasi tiap daerah/universitas di Indonesia.

Karena, seperti yang telah ditegaskan sejak awal, keberhasilan Katarina di salah satu even internasional ini tak lepas dari prosedur eligibility keikut-sertaan yang tidak diskriminatif. Di mana di even ini, Bank Dunia sama sekali tidak mensyaratkan peserta kompetisinya untuk kuliah di tempat status kewarga-negaraannya berada.

Demikian, semoga keberhasilan Katarina ini benar-benar menjadi refleksi serius bagi pemerintah kita. Semoga ke depan, eksistensi dan potensi mahasiswa-mahasiswa luar negeri benar-benar bisa terberdayakan dan terjaring dengan optimal, bukan justeru terhalangi dengan beramai-ramai menutupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar