Senin, 03 Agustus 2009

Muhasabah dua Periode DPD PPMI Tafahna Al Asyraf


Sebuah Catatan Akhir Sang Sekretaris*

I. Pengantar

Tak terasa, ternyata DPD PPMI Tafahna Al Asyraf sudah sampai di penghujung Periode ke II. Jika kita hitung dari awal berdirinya, satu setengah tahun sudah Umur DPD kita ini waktu berjalan begitu cepat. Walaupun masa jabatan Dewan Pengurus di periode ke II ini memang terbilang cepat untuk bisa dikatakan Satu Periode (baca; satu tahun), namun bukan berarti itu bisa dijadikan sebagai kambing hitam jika nantinya didapati kelalaian atau kekurang-sempurnaan.

Susah rasanya untuk bermuhasabah bagi orang yang memang tidak terbiasa bermuhasabah. Katakanlah itu bagi dewan pengurus sendiri. Atau terlebih khusus bagi saya sendiri. Mungkin itu adalah salah satu dari kelalaian kita selama ini.

Umar Bin Khattab RA menjelang beliau tidur selalu bermuhasabah. Jika ia dapati dalam muhasabahnya sesuatu yang menjanggal dalam hatinya, entah itu ada yang mungkin tersakiti olehnya, maka Saidina Umar Bin Khattab RA akan mengambil cemeti dan memecuti dirinya. Sejarah menjadi saksi, walaupun beliau dahulunya terkenal sebagai musuh besar bagi Kaum Muslimin, akhirnya bisa menjadi tokoh besar dan Amirul Mu'minin.

Mungkin berbeda jauh dengan kita. Pernahkah kita (baca; dewan pengurus) meluangkan waktu agak sepuluh menit sebelum kita tidur untuk bermuhasabah mengenai kinerja kita di Kepengurusan DPD ini? Kalaupun ada, mungkin hanya untuk beberapa orang. Begitulah... jika kita tidak peduli dengan apa yang telah kita lakukan, tidak mau mengoreksi kembali dan tidak mau tahu dengan kekurangan dan kealpaan kita sebagai dewan pengurus, lantas apa yang mau kita perbaiki dan kita kembangkan untuk DPD kita ini. Seorang montir tidak akan pernah bisa memberbaiki mobil jika dia tidak tahu kerusakan mobilnya dimana. Bukankah seperti itu?

II. Beberapa tinjauan dan analisis kritis di lapangan.

1. Rendahnya minat untuk bidang keilmuan

Rasanya ini kendala terbesar bagi hampir semua DPD atau bahkan organisasi Masisir. Jadi tidak tepat rasanya jika hanya ditujukan untuk Tafahna saja. Namun walaupun demikian, bukan berarti sesuatu yang sudah mewabah di lingkungan kita lantas kita merelakan diri kita pun ikut tertular dan larut didalamnya.

Kita sudah menyaksikan sendiri. Berbagai upaya telah dilakukan. Dari berbentuk nasehat-nasehat seperti Talkshow kecil-kecilan yang pernah diadakan Tim Fusul Taqwiyah, sampai yang berbentuk Lokakarya yang diselenggarakan KBRI.

Tapi apakah itu semua berhasil gemilang? Masih segar dalam ingatan saya, sewaktu Tim Fusul Taqwiyah Tafahna berhari-hari menyusun format acara berharap agar mahasiswa Tafahna secara khusus kembali ke kampus, seperti yang termaktub dalam tema acara. Begitu acara selesai, Tim Fushul Taqwiyah berharap bisa menjumpai wajah-wajah baru di kuliah. Tapi nyatanya yang hadir di kuliah itu ke itu juga orangnya.

Demikian juga dengan Dewan Pengurus yang tak kenal lelah berupaya berkhidmad untuk DPD kita. Berbagai ide-ide kreatif dari Dewan pengurus dalam membangkitkan minat keilmuan mahasiswa-pun diselenggarakan. Tapi entah dimana salahnya, itu semua tidak mendapat perhatian positif dari anggota. Katakanlah Perpustakaan DPD Tafahna Al Asyraf yang dari awal kepengurusan sudah dicanangkan oleh Ketua dengan membentuk tim pengadaan perpustakaan. Hingga akhirnya berhasil diresmikan langsung oleh Bapak duta Besar sendiri, orang nomor satu se jagad Mesir ini bagi orang indonesia. Tapi ruang perpustakaan itu masih saja sepi. Sampai tulisan ini dibuat, belum ada anggota yang menyengajakan diri untuk masuk perpustakaan dengan niat membaca buku-buku perpustakaan. Terkecuali Tim pengadaan Perpustakaan itu sendiri dan beberapa orang dari Dewan Pengurus tentunya. Entah disebabkan buku-buku perpustakaan yang masih jauh dari kata 'memadai' atau karena sengatan musim panas. Atau malahan karena masih ingin berleha-leha mumpung kan baru habis imtihan.

Semangat dan ambisi yang kita bawa dari indonesia dahulunya untuk belajar, kian hari kian memudar dan berkarat diterpa debu-debu Tafahna. Semangat yang pasti kalah jika dibandingkan dengan semangat mencari musa'adah atau undangan makan. Semangat yang terus tidur kemudian bagun dengan kaget sewaktu akan memasuki waktu imtihan.

Telinga dan hati kita seakan-akan sudah dikhatam untuk mendengarkan nasehat. Entah berapa banyak kata-kata yang seharusnya sudah menyadarkan kita dan menyegarkan kembali semangat kita bahwa tujuan kita datang ke Bumi Kinanah ini hanya satu yaitu menuntut ilmu dan belajar.

2. Budaya Konsumtif bukan produktif

Dari berbagai kenyataan di lapangan membuktikan, bahwa masyarakat kita cendrung menjadi konsumen. Memilih jadi penonton daripada pemain. Mereka berfikir apa sih yang bisa saya dapatkan dari DPD ini.

Dari sini terlihat, jika DPD mengumumkan ada pembagian Musa'adah misalkan, semua masyarakat kita di Tafahna berbondong-bondong untuk hadir. Tidak peduli kapanpun waktunya dan dimanapun tempatnya. Semua kita tak akan melewatkan momen tersebut. Tetapi tatkala TPP (baca ; Tim Pengadaan Perpustakaan) Tim pengadaan Perpustakaan kita menjalankan list kerumah-rumah meminta kesukarelaan dari kita untuk menyumbangkan buku-buku, katakanlah buku-buku usang yang tidak lagi kita dibaca, TPP kembali dengan wajah kecewa. Sedikit sekali dari kita yang bersedia menyumbangkan bukunya. Apakah kita tidak rela buku kita dimanfaatkan orang banyak daripada kita simpan sampai berdebu di rak-rak kita. Sebagai penghias ruangan tanpa pernah kita sentuh.

Ternyata, perilaku konsumtif sudah sedemikian parahnya sehingga ada yang bisa memudharatkan orang lain yang dikategorikan produktif untuk DPD seperti koperasi dan kesejahteraan. Katakanlah mereka yang menunggak di koperasi DPD hingga berhari-hari, dan akhirnya lupa untuk membayar.

Memang sudah seyogyanya bagi dewan pengurus untuk berkhidmad untuk anggotanya. Selaras dengan hadist "Amirul qaumi khadimuhum". Pemimpin sebuah kaum adalah pelayan kaum itu. Tapi kewajiban pula seharusnya bagi anggota untuk mendukung program-program dewan pengurus. Sehingga terciptanya korelasi yang baik antara anggota dan Dewan Pengurus sebagai pondasi awal kemajuan DPD kita.

3. Menangkap ikan dengan pancing

Jika kita memancing dengan melemparkan kail yang kosong, jangan pernah berharap ikan akan menyangkut dengan sendirinya di pancingan kita itu.

Mungkin itulah sindiran yang lumayan mengena untuk Anggota DPD. Bukan bermaksud menyamakan kita dengan ikan, sama sekali tidak.

Sebagus apapun acara yang diangkat oleh Dewan Pengurus, semeriah apapun format acaranya, dan se indah apapun pamfletnya, tapi tanpa ada kata-kata di sudut pamfletnya yang mengatakan 'masakan spesial Ustadz fulan' maka jangan berharap acara kita akan dihadiri banyak orang.

Selama ini, sistim inilah yang digunakan Dewan Pengurus untuk menarik masa dalam acara indoor (baca ; dalam ruangan). Maka pembahasan dalam rapat-pun selalu dititik beratkan pada permasaalahan konsumsi. Dan yang paling lama memakan waktu adalah penentuan 'menu masakannya'.

Walaupun demikian, Dewan Pengurus dan Panitia ternyata masih bisa kecolongan. Mungkin teknik seperti ini sudah ketinggalan zaman, karena 'ikan-ikan' sekarang lebih cerdas. Ternyata kebanyakan 'pancingannya' datang di penghujung acara. Tidak bermaksud untuk ikut acara sebenarnya, tapi langsung ke 'acara inti'.

Inilah yang harus bersama kita robah. Saya setuju dengan kata pepatah "what can I do for you, not what can I take from you". Mari kita tanyai diri kita, apa yang bisa saya persembahkan untuk DPD kita ini, bukanlah mempertanyaan apa yang bisa saya dapatkan dari DPD kita.

4. Lemahnya pengetahuan mengenai manajemen keorganisasian.

Terjun ke dunia organisasi mungkin bukanlah tujuan kita datang ke Mesir ini. Tapi juga tidak bisa dipungkiri akan pentingnya kemampuan berorganisasi di tanah air saat ini. Tidak semua dari kita yang punya kemampuan yang mumpuni dalam berorganisasi. Kebanyakan yang duduk di Kepengurusan DPD masih tergolong awam. Maka, sudah seharusnya kita yang masih pemula mau belajar dan mendengarkan masukan dari mereka yang lebih senior. Sebaliknya, mereka yang lebih senior dan mengerti mengenai manajemen keorganisasian juga harus mengingatkan dan mengarahkan mereka yang masih pemula. Mungkin inilah masih perlu ditingkatkan. Karena masih minimnya pengetahun keorganisasian dan kurangnya korelasi antar pengurus, terjadi kevacuman dalam aplikasi program. Atau malah berdebat kusir soal tugas dan wewenang pengurus. Sehingga perdebatan yang jauh dari kata ishlah berakibat dapat memecah belah kesatuan hati dari dewan pengurus itu sendiri dan berdampak kepada kurang bergairah dalam menjalankan program2 DPD.

Sesama pengurus-pun perlu adanya tafahum dan tasammuh. Saling memahami dan saling mengerti. Selain dituntut untuk perlunya pemahaman tugas masing-masing (job description) kita. Sehingga tidak terjadinya kerancuan kerja. Saling menghindar dengan alasan 'itu bukan bagian saya' atau malah bertengkar 'mengapa antum melangkahi saya, ini kan job saya'.

5. Kurang fariatif dan kreatif dalam memformat acara.

Secara umum, acara indor (dalam ruangan) yang diadakan oleh Masisir pada umumnya tergolong sama. Dimulai dari protokol, kemudian presentasi dari pemateri, sesi tanya jawab, dan ditutup dengan pembacaan doa. Terakhir penghidangan menu masakan khas indonesia dari panitia. Selalu seperti itu dari tahun ke tahun.

Mungkin saja ada beberapa pihak yang sudah bosan. Katakanlah acara Bimbingan bahasa arab, pelatihan ilmu mawarist, Pelatihan Ilmu Tajwid, Tasmi' hafalan Qur'an, dan lain sebagainya. Diawal-awal acara, peserta begitu bersemangat untuk mengikuti. Setelah berjalan, mulai gugur beberapa orang. Hingga akhir acara, tinggal beberapa orang saja yang masih bisa bertahan.

Mungkin perlu ada inofasi baru dari panitia kegiatan. Ide kreatif yang bisa menampilkan hal yang 'beda' dari yang biasanya. Seperti acara Talkshow dari Fushul Taqwiyah yang menformat acara mengikut kepada TV Show 'Bukan Empat Mata'nya Tukul, atau Kick Andy dan lain sebagainya. Hal ini menimbulkan kesan tersendiri bagi peserta.

Mengenai waktu kegiatan, bahwa kita sepakat untuk tidak mengadakan kegiatan di jam-jam kuliah. Tentu kesepakatan ini dipandang bagus, supaya anggota DPD bisa ke kuliah dan aktivitas organisasi tidak mengganggu aktivitas kuliah. Tapi bisa saja alasan ini di'kambing hitam'kan. Karena kebanyakan dari mereka memang tidak pernah ke kuliah. Namun alasan mereka untuk me-non aktifkan kegiatan DPD di jam-jam kuliah karena mereka sebenarnya tidak ingin terganggu tidur paginya. Fakta dilapangan membuktikan, ketika kita mengangkat acara dipagi hari, banyak yang tidak datang. Mereka yang tidak hadir bukanlah pergi ke kampus, tapi malahan tidur.

Saya curiga, saking berurat dan berakarnya budaya tidur pagi, kesepakatan tersebut dibuat. Sepakat tidak mengadakan acara dipagi hari untuk bertasammuh kepada mereka yang ingin pergi ke kuliah, kalaupun ada.

6. Membangun Citra Positif di lingkungan Tafahna

Tafahna bisa dikatakan lingkungan yang paling kondusif bagi mahasiswa di Mesir. Terbukti dari banyaknya pendatang dan jumlah anggota Tafahna yang menjadi Jumlah anggota terbanyak dari ke empat DPD yang ada di PPMI. Kebanyakan mereka memilih Tafahna, mungkin disebabkan biaya hidup dan biaya rumah yang relatif rendah dibandingkan dengan Kairo dan tempat-tempat lain. Juga nizham kita dengan menetapkan satu kamar satu orang, membuat orang lain iri. Hanya satu-satunya tempat di Mesir ini yang bisa seperti ini. Juga ditinjau dari harga rumah yang stabil dari waktu ke waktu. Tuan rumah tidak bisa seenaknya menaikkan harga rumah karena sudah ada kesepakatan antar wafidin untuk tidak mengambil rumah diatas harga standar.

Selain itu bagi mereka yang ingin tarkiz untuk belajar, maka Tafahna-lah tempatnya. Selain karena Kuliah yang dekat dari tempat tinggal yang memungkinkan hanya dengan berjalan kaki menuju kampus, juga terkenal dengan banyaknya Masyaikh dan tempat-tempat Talaqi di Mit Ghamr.

Disamping itu, perekonomian mahasiswa Tafahna juga ditunjang dari banyaknya musa'adah berupa tamwin, Mujamma' Anwarul Haramain di Burdin, sampai Jam'iyah Syar'iyah.

Melihat dari faktor-faktor diatas, Kota mungil Tafahna menjadi diburu dan diminati oleh Mahasiswa.

Disamping itu, Saya juga bersyukur ukhuwah yang terbina di lingkungan Masisir Tafahna jauh berbeda dengan Lingkungan Kairo yang penuh dengan faham individualistis. Sampai sekarang setiap kita masih punya rasa kepedulian yang tinggi. Bahkan untuk hal-hal yang kecil seperti mengucapkan salam dan bertegur sapa baik sesama wafidin ataupun dengan orang Mesir pada umumnya, masih tetap mentradisi sampai sekarang. Mengucapkan salam dan bertegur sapa adalah sesuatu yang lazim bagi kita, walaupun sebenarnya kita tidak kenal dan tidak tahu menahu dengan orang yang kita sapa. Yang jelas, pastilah mereka Tholib seperti kita. Atau sekurang-kurangnya seorang muslim, saudara kita.

Namun sangat disayangkan, jika ditemui perilaku orang-orang 'baru' yang tidak mengetahui hal ini. Mereka yang belum menyadari kalau lingkungan Tafahna berbeda dari Kairo dan Indonesia tentunya. Mereka yang membawa kebiasaan individualistis dan ditakutkan akan meracuni citra positif kita.

Beberapa orang Mesir yang merasa terganggu, pernah melapor kepada Dewan pengurus dan orang yang mereka anggap sebagai Tokoh Wafidin di Tafahna. Mereka mengadukan bahwa ada beberapa orang dari Wafidin yang 'nakal' mencoba mengganggu banat mereka. Sesuatu yang sangat 'aib bagi presfektif Mahasiswa Al Azhar. Atau beberapa kedai di Tafahna yang kesal karena wafidin Tafahna membeli 'rokok' dari kedainya. Beberapa Tokoh Tafahna yang berhubungan langsung soal musa'adah dan tamwin untuk wafidin yang kebetulan berada disana-pun berceloteh "kami memberikan musa'adah pada wafidin itu bukan untuk mereka bakar..." celetuk Beliau kecewa.

Nah, hal seperti ini tentu menjadi bomerang bagi semua mahasiswa Tafahna. Seperti kata pepatah "karena setetes tuba, rusak susu sebelanga". Hanya karena perilaku beberapa orang, semua Wafidin Tafahna dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand-pun kena getahnya.

Maka kewajibanlah bagi DPD dan BPD untuk men-'tahzir' mereka. Berpedoman pada salah satu hadist Rasulullah, bahwa kita di DPD ini tak obahnya seperti sebuah perahu, jika orang yang dibawah perahu melubangi perahu agar tidak kesulitan untuk mendapatkan air, dan mereka tidak ditegur oleh orang diatas mereka, tentulah semua yang ada didalam perahu tersebut tenggelam.

III. Titik cerah DPD Tafahna

DPD PPMI Tafahna Al Asyraf sebagai DPD termuda, bahkan mungkin saja organisasi termuda di kalangan Masisir jika ditinjau dari kinerjanya, saya rasa sudah memberikan yang Optimal bagi DPD. Dalam tempo yang singkat sudah bisa menyulap DPD menjadi sebuah organisasi yang bisa dikatakan selevel dengan organisasi lain dan tak kalah bersaing dengan DPD-DPD pendahulunya.

Diawal berdirinya DPD kita, mau tidak mau harus memaksa Dewan Pengurusnya untuk bekerja dengan segala keterbatasan. Baik keterbatasan infentaris organisasi, maupun finansial yang tidak memadai. Alhamdulillah saat ini saya rasa sudah mencukupi untuk bisa dikatakan sebuah organisasi yang independen.

Jika kita membanding-bandingkan. Mengapa DPD PPMI Tafahna tidak ketinggalan dari DPD yang lain walaupun umurnya masih sangat muda? Karena orang-orang di DPD Tafahna sendiri sebenarnya adalah 'orang-orang lama' bekas gemblengan dari Zagazig dan Kairo. Walaupun sebenarnya untuk dikategorikan profesional berorganisasi tentunya masih dini. Tapi untuk sekelas Masisir, saya rasa itu sudah cukup memadai.

Harapan kita kedepan, tentunya akan muncul wajah-wajah baru yang akan membawa Tafahna menuju keprofesionalitasan dan kematangan manajemen keorganisasian. Tidak lagi wajah-wajah lama yang harus berlaga. Tapi kader-kader barulah yang harus melanjutkan perjuangan dan menyambung tongkat estafet kepengurusan DPD ini.

Dua periode DPD yang telah berlalu ini baru bisa dikatakan untuk membuat pondasi dan bangunan organisasi. Nah, kewajiban dari pengurus kedepanlah untuk mengisinya. Jika di Periode kedua, didapati banyaknya sirkulasi keuangan untuk melengkapi infentaris DPD, maka kewajiban dari kepengurusan berikutnyalah untuk memanfaatkan dan mengelola infentaris tersebut sesuai kebutuhan organisasi. Tentu tidak bisa lagi beralasan dan meng'kambing hitam'kan peralatan infentaris DPD yang tidak memadai.

IV. Penutup

Demikianlah sekedar tinjauan ulang untuk me-muhasabah diri kita kembali. Memang banyak sindiran dan kata-kata pedas. Bukan bermaksud protes dan kecewa dengan realitas yang ada, atau malah menyudutkan beberapa pihak. Tapi tulisan yang sederhana ini lebih kepada pemberian pemahaman kepada kita bahwa dari relalitas tersebut bisa kita ambil ibrah sehingga dapat menjadi acuan sikap kita untuk menentukan langkah kedepan. Atau menjadi salah satu batu loncatan bagi kita untuk mengapai keprofesionalitasan organisasi. Wallahua'lam

*Hannan Putra (Abu Abdurrahman) Sekretaris DPD PPMI Tafahna Al Asyraf, Pimpinan Umum Majalah Al Ribath.

Minggu, 02 Agustus 2009

Minimalisasi Prosedur Diskriminatif terhadap Mahasiswa Indonesia Luar Negeri


Keberhasilan Katarina Nugroho untuk sampai di ajang Final Jury Lomba Menulis Esai Internasional Bank Dunia 9 Juni kemarin memang patut dibanggakan. Karena terhitung sejak Bank Dunia pertama kali mengadakan kompetisi menulis tahunan ini, belum ada satu pun pemuda-pemudi Indonesia yang bisa berhasil sampai di ajang Final Jury. Apalagi jika mengingat jumlah peserta yang berpartisipasi di tahun ini membludak hampir 50% dari tahun sebelumnya.

Katarina termasuk delapan penulis terbaik dari 3827 penulis lainnya yang berkesempatan mempresentasikan esainya dan menghadiri ABCD Conference di Cape Town 9-11 Juni kemarin. Sesuai dengan tema urban yang ditetapkan oleh panitia, di esainya, Katarina bertutur panjang-lebar tentang bagaimana memecahkan permasalahan-permasalahan urban di Jakarta dengan mempersiapkan generasi lewat pendidikan dan social entrepreneurship.

Tapi lebih dari sekedar kebanggaan tersebut, ada satu hal yang sebenarnya perlu menjadi catatan penting bagi pemerintah kita dari keberhasilan ini: Bahwa Katarina Nugroho adalah salah satu bukti potensi mahasiswa Indonesia luar negeri; bahwa pemerintah kita perlu lebih memperhatikan eksistensi dan potensi mahasiswa Indonesia luar negeri; bahwa selama ini banyak prosedur diskriminatif yang menghambat partisipasi mahasiswa luar negeri dalam berbagai even nasional/internasional; bahwa keberhasilan Katarina ini tak lepas dari prosedur eligibility keikut-sertaan yang tidak diskriminatif.

Prosedur Diskriminatif

Selama ini, harus disadari bahwa ada semacam prosedur diskriminatif terhadap mahasiswa Indonesia luar negeri untuk keikut-sertaan dalam banyak even/peluang nasional maupun internasional. Baik dalam even/peluang internasional yang meniscayakan penjaringan via negara, atau juga dalam even/peluang yang digalang oleh internal negara sendiri.


Semisal dalam prosedur keikutsertaan Phillip C. Jessup International Law Moot Court Competition, sebuah kompetisi paling bergengsi bagi mahasiswa Hukum yang diadakan di di Washington D.C. Maret-April lalu. Dalam even ini, eksistensi dan potensi mahasiswa hukum luar negeri sama sekali tidak dijaring, atau bahkan mungkin tidak terpikirkan. Padahal, ada banyak mahasiswa hukum luar negeri yang mungkin kapabel untuk dijaring sebagai representasi Indonesia di ajang tersebut.

Atau juga dalam banyak even-even nasional, kerap sekali mahasiswa Indonesia luar negeri harus kehilangan kesempatan karena even tersebut mensyaratkan keharusan pesertanya untuk terdaftar di salah satu universitas di Indonesia, seperti dalam prosedur keikut-sertaan beberapa even lomba tingkat nasional atau juga dalam prosedur pendaftaran magang kerja di beberapa instansi nasional.

Atau lebih jauh lagi, di wilayah peluang-peluang yang difasilitasi oleh pihak Non-Governmental, semisal Lembaga Beasiswa Peace Scholarship yang kerap menawarkan program-program Season Course serupa Summer Course, Winter Course dan lain-lain. Lembaga ini juga menetapkan standar eligibility pendaftarnya, jika sang pendaftar resmi terdaftar sebagai mahasiswa di salah satu universitas di Indonesia . Lagi-lagi, peluang mahasiswa luar negeri semakin minim.

Hal-hal tersebut menjadi masalah karena secara institutif, mahasiswa Indonesia luar negeri telah kehilangan kesempatan penjaringan via universitas. Universitas-universitas tempat mahasiswa Indonesia luar negeri tersebut belajar tentu akan lebih memprioritaskan mahasiswa-mahasiswa pribuminya untuk dipilih sebagai representasi univesitas. Apalagi jika even tersebut adalah even kompetisi antar Negara serupa Phillip C. Jessup International Law Moot Court Competition tadi.

Membuka Peluang

Minimalisasi prosedur diskriminatif ini bisa dimulai dengan mempersewajahkan peluang mahasiswa-mahasiswa Indonesia baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Sudah saatnya membuka lebar-lebar kesempatan bagi mahasiswa luar negeri untuk berkiprah sejajar dengan mahasiswa dalam negeri.

Untuk membuka peluang tersebut, setiap elemen pemerintah memang dituntut untuk memulainya bersama-sama. Dan ini tentu tak sulit. Karena elemen-elemen pemerintah tersebut hanya cukup mencantumkan saja eligibility keikut-sertaan mahasiswa-mahasiwa luar negeri dalam setiap even atau peluang yang digelarmya.

Lalu terkait pemberian peluang bagi even internasional yang membutuhkan penjaringan via Negara, bisa dilaksanakan dengan mengadakan penjaringan via KBRI selaku instansi perwakilan RI di luar negeri, untuk kemudian dijaring kembali di tingkat nasional bersama dengan representasi tiap daerah/universitas di Indonesia.

Karena, seperti yang telah ditegaskan sejak awal, keberhasilan Katarina di salah satu even internasional ini tak lepas dari prosedur eligibility keikut-sertaan yang tidak diskriminatif. Di mana di even ini, Bank Dunia sama sekali tidak mensyaratkan peserta kompetisinya untuk kuliah di tempat status kewarga-negaraannya berada.

Demikian, semoga keberhasilan Katarina ini benar-benar menjadi refleksi serius bagi pemerintah kita. Semoga ke depan, eksistensi dan potensi mahasiswa-mahasiswa luar negeri benar-benar bisa terberdayakan dan terjaring dengan optimal, bukan justeru terhalangi dengan beramai-ramai menutupnya.